8 December 2009

Lagi-Lagi Malam Lagi

Malam keruh larut, teraduk bersama ampas kopi.
Bukan tidak ada yang harus kau kerjakan, hanya kau enggan melakukannya.
Malas, kau menghitung berapa puntung rokok yang sudah kau hisap habis.
Mencoba mereka-reka kuantitas apa yang membuat kamarmu berlumur asap.
Asap, mereka menari, mengejawantah wajah-wajah patah,
Wajah-wajah yang pernah kau hirup setiap hela nafas mereka,
Wajah-wajah yang kau rengguk dalam keserakahanmu,
Wajah-wajah tanpa mata seperti lukisan Modigliani.
Karena ternyata halnya sama, kau tak pernah mengenal jiwa mereka.
Entah apakah kau atau mereka yang perlahan pergi,
Semua tidak ada yang jelas.
Pintu kamarmu kini tertutup.
Namun kau masih saja mencuri-curi mengintip dari lubang kunci.
Berharap semu mereka atau setidaknya salah satu dari mereka kembali dan mengetuk pintu.
Dan dengan jumawa kau bersiap akan membukanya.
Namun malam terlalu mabuk.
Mampus matamu terjepit di lubang kunci!
Sehingga tak ada lubang lagi di kamar agar asap rokokmu dapat keluar,
Matamu pun memerah, berair.
Sudah, sudahlah.
Ini bukan drama. Kau tidak butuh penghiburan apapun.
Ambil dan hisap kembali saja rokokmu,
Ramaikan kembali kamarmu dengan asap.
Tiup terompetmu, tuangkan anggur pada cawan,
Mabuklah bersama malam.
Menarilah bersama para asap dan tertawalah seolah kau tak pernah sebahagia ini.
Berdirilah di depan cermin,
Kau adalah badut, dimana penontonmu adalah cermin.
Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.
Kau tidak gila. Kau hanya perlu menertawakannya. Kau bahkan tidak akan pernah tahu,
Saat serdadu-serdadu pagi menjemput,
Yang mereka akan dapati di kamarmu hanyalah asap.
Dan kau sebagai salah satu wajah yang patah.





Depok, 8 Desember 2009.
Dini hari.
Saat garis mati tugas-tugas menanti.
Namun isi kepala tak kunjung kompromi.