27 April 2009

Muka Memerah, Mari Tertawa.


Ahh. Melindungi hidupmu. Milikmu. Semua yang kau cintai, ingin kau rengkuh dalam lengan kecil itu? Kau coba biaskan antara kebaikan dan bijaksana, tapi itu tidak sejalan, bagaimanapun, kau harus mengorbankan salah satunya. Mari, mari duduk sini di hadapanku. Kisah lagi, tutur lagi cerita sendu. Mau kamu lihat cucur air mataku? Aku baca baris per baris. Aku telan lembar per lembar. Mengerti. Semua orang seharusnya mengerti. Sejauh mana kamu ingin semua yang kamu cintai tetap di rengkuhanmu. Sejauh mana kau tampung semua tetes-tetes peluhmu. Sejauh mana kemelekatanmu sebenarnya. Tak perlu disangkal. Itu manusiawi. Tak perlu disangkal. Tak perlu sedu melihatku pergi. Mengerti. Semua orang seharusnya mengerti. Bahwa semua yang tergores dalam lembar-lembar itu bisa tidak terjadi. Bahwa semua ide yang menari setelah habis kami membacanya, akan tetap tinggal sebagai ide. Tak perlu realisasi. Satu wacana muncul di muka: Tanggung jawab!

26 April 2009

Diamuk Api (Kotak)


Aku ingin memasukkanmu di dalam kotak korek api, Dan menguncimu di saku celanaku. Tidak, Tidak boleh ada lagi sua teman-temanmu. Tidak boleh ada lagi ucap selain aku. Masuk, dan diam!

Malam. Kereta.

















Kereta baru datang pukul sembilan.
Betapa bosan memukulku habis-habisan. Mana bulan penuh? Pingin rasanya kuculik biar memar keruh jadi luruh...


Pejamkan mata.



Nanti gelap makan semua!
Belum saatnya.


Ya, pejamkan mata.
Mungkin langit hitam akan meminjamkan kekasih hatinya itu.
Mungkin tawa dan suka akan terbit menggantikan mentari di stasiun tua,
dimana dirimu menggantungkan malam di kereta.



Kekasih, kekasih..
Mata sudah mengatup penuh tertutup. Tapi apa ujung sana? Gelap jawabnya. Mungkin harap cuma ilustrasi remuknya jiwa!

25 April 2009

Lahirnya Tuan Pelangi (Rayu-Rayuan Kami)


malam, tanpa bintang. tanpa bulan, hanya gerimis berderai. aku meniti kaki langit, berharap di ujung sana berdiri kamu dengan senyum sendu itu. berdiri kamu mengulurkan tangan padaku, berdiri kamu, membawa pelangi..



tak kukantongi itu pelangi.
tapi kalau kau mau, mari bangun perahu.
buat arungi langit hitam.
siapa tahu bersembunyi di baliknya bintang dan bulan.
pelangi bernyanyi lagu kahyangan.


itu dia sang pelangi !! kau benar, bersembunyi di bilik sepi. tapi temaram cantiknya takkan menepi... aku terpikat pada pelangi, walau saat datang matahari asa pun pergi.. maukah kau menemani?


aku membuntuti dari belakang.
memotret dengan mata.
supaya nanti kalau pelangi pergi, masih ada sisa caya menari di kepala..



redup sudah.
bias-biasnya memercik, dingin laksana embun. kutolehkan kepala, menyaksikan kerlap baru yang kau torehkan di matamu, di kepalamu.. warna warni indahnya. terima kasih sudah menjadi pelangi bagiku..


memang sudah niatku menjadi pelangi di setiap hati.
tapi kadang tak semua mengerti.
thanks for understanding me..



aku ingin menjadi pelangi,
agar aku bisa melipur duka kawan tak berperi.. aku ingin menjadi pelangi, agar hati pun kian berseri.. aku ingin menjadi pelangi, karena kamu.. ajarkan aku menjadi pelangi.


menjadi pelangi adalah ketika kau merangkai warnamu sendiri tanpa terpengaruh terik matahari atau basah hujan.
tapi hati-hati, kadang matahari iri dan hujan terlalu pongah untuk mengerti!

Pengetuk Pintu


Ada orang yang selalu mengetuk pintuku. Awalnya bunyi itu mengganggu sekali. Bertalu-talu menyakitkan telinga.

Mengapa Sang Pengetuk tidak mau membiarkan aku di dalam bersama jaring laba-laba?

Berlalulah hari-hari dengan ketukan di pintuku.

Ah, mari buka saja. Sekedar mengintip siapa.

Tatap muka dengan Sang Pengetuk, kami tukar kisah bagaimana ombak telah arungi angkasa. Dalam kedip dalam hirup dalam satu putaran di kepala, Sang Pengetuk telah masuk dan membuat jaring laba-labaku menjadi merah.

Sang Pengetuk mau melihat matahari datang mencari bulan. Maka aku pun memikatnya dengan jaring laba-laba dan sedikit racun dari gigitan laba-laba merah kuharap dapat meluruhkan dia. Karena aku mau mengantar Sang Pengetuk menemui matahari dalam sunyi malam yang akan segera ditinggal mati bulan.

Kami pun menyurur setiap papan dimana semakin jauh kami menyeberang semakin payahlah kami.

Namun entahlah.

Mungkin jaring laba-laba tak cukup kuat menahannya.

Mungkin bisa laba-laba merah tak sanggup membiusnya sampai ke tulang.

Atau mungkin Sang Pengetuk merasa muak.

Sang Pengetuk menolak meniti lagi jembatan yang kupikir dia akan tersenyum sesampai di ujung sana.

Terkutuklah aku yang tak sempat melihat ular menari di lidah Sang Pengetuk, bisanya melampaui pengaruh gigitan laba-laba merah.

Waktuku habis, dayaku habis. Pekat pun makin melilit sadar.

Sang Pengetuk menangis.

Ia berbalik, meraung antara murka dan sedih. Matahari diinjak-injak tenggelam ke dasar kelam. Dia mau kini dan tak peduli lagi tentang matahari ataupun bulan.

Maka larilah Sang Pengetuk seraya merusak jaring laba-laba yang kuyu menggantung.

Ia keluar, pintu terbanting menutup, dan Sang Pengetuk telah menguncinya sempurna.

…………………………………… .


Walaupun pintuku terketuk lagi aku tak bisa membukanya lagi.

Bahkan pengetuk lain pun takkan bisa membuka lagi.

Terkunci. Ular telah memakan rakus jaring laba-labaku.



Ah.
Sudahlah.

Mari, mari jalin jaring baru.


Why so serious, anyway?


Jakarta, January 02nd 2008