16 August 2010

Senja Merah

Kala itu senja, 
Tidak ada teh yang tersuguh di meja. 
Tidak ada kami yang saling puja.


Senja merah, Kamu marah?

22 July 2010

JER(U)K

Orang-orang asing. Berbau alkohol. Bukan perpaduan yang menyenangkan.
"Dimana jeruk yang kuletakkan di atas meja?" aku bertanya.
 Orang-orang asing itu menatapku.
"Sudah kami makan," jawab mereka serempak.Aku mengangguk, mengambil tempat duduk membelakangi mereka. Kuselonjorkan tubuhku dan aku menaikkan kakiku ke bangku. Kepalaku sakit, maka tak lama aku pun tertidur. Toleransiku pada alkohol menurun pesat belakangan ini. Saat aku terbangun, aku menatap sebuah jeruk di atas meja di hadapanku. Kumakan. Rasanya masam. Orang-orang asing itu berbau alkohol itu menghampiriku. 
"Dimana jeruk yang kami taruh di atas meja?" tanya mereka serempak.

15 July 2010

11 July 2010

Satu Hati Di Bali

Kamar gelap.
Raung kendaraan terdengar sayup.
Tiupan kipas angin turut membungkus.
Menghembus anak-anak rambut.
Siluet burung-burung kertas di jendela,
Kura-kura mengintip dari cangkangnya.
Kenapa begitu sunyi?
Tak ada yang harus dilakukan disini.
Tapi kenapa kaki enggan pergi?
Padahal kau sudah jauh pergi.
Di Bali, di Bali
Mengaduh eksistensi dan hati.
Namun aku seolah menanti.
Bunyi nyaring pagar di buka,
Langkah menaiki tangga,
Pintu terbuka dan wajah yang kurindukan menyapa.
Membentang tangan dalam rangkulan.

30 June 2010

Pas Foto

Suatu ketika seorang kawan menggambar wajah saya dan jadilah seperti ini:





asem.

29 June 2010

Tik Tik Tik Bunyi Hujan.

Hujan mulai jarang menitik.
Ini sudah awal bulan Maret.
Seorang perempuan membelalak pergi dari mimpinya. Ia bermimpi sepetik hujan menikam jantungnya. Ia menegakkan diri di ranjang, tangannya perlahan mendekat ke jendela dan menarik menyingkap korden yang menutupinya. Langit kelam di luar sana, tidak ada bulan, tidak pula hujan. Ini sudah awal bulan Maret, pikir si perempuan. Ia melepaskan korden dari genggamannya dan membiarkan langit malam kembali tertutupi. Ia kembali bersembunyi di balik selimut dan padam.

Hujan semakin jarang menitik.
Ini sudah pertengahan bulan Maret.
Seorang perempuan sekali lagi terbelalak terbangun. Terkesiap atas mimpinya. Ia bermimpi sepetik hujan menikam jantungnya. Dengan mata masih membelalak, gemetar ia menegakkan punggung pada ranjang. Bersandar, ia menoleh pada sisi kanannya. Perlahan si perempuan mengulurkan tangannya, meraih korden dan menyibakkannya. Membentang di balik kaca jendela langit malam kelam. Langit tanpa bulan. Lagi-lagi juga tanpa hujan. Ini sudah pertengahan bulan Maret, pikir perempuan itu. Ia mengurai lembaran korden dari genggamannya dan kembali meluncur ke dalam selimut. Malam menjelang, perempuan itu pun padam.

Hujan sudah tidak pernah menitik.
Ini sudah akhir bulan Maret!
Pada akhirnya seorang perempuan membelalak di tengah malam. Malam masih sunyi. Tanpa diminta, meluncur ingatan mengapa ia terjaga tiba-tiba. Tadi ia bermimpi. Perempuan itu bermimpi sepetik hujan menikam jantungnya. Perempuan itu pun menegakkan tubuhnya dan bersandar pada kepala ranjang. Bermimpi sepetik bulan menikam jantungnya. Matanya tertanam pada jendela yang tertutup oleh selapis korden. Perlahan, ia meraih korden dan menyibakkan bentangan tahta langit malam kelam di balik kaca jendela. Lagi-lagi malam tanpa bulan. Dan tanpa hujan. Bagaimanapun, ini sudah akhir bulan Maret, pikir perempuan itu sendu. Seketika si perempuan mengurai korden yang tergenggam oleh kepalan tangannya. Perempuan itu pun kembali merebahkan tubuhnya, membungkus diri dalam selimut dan membisik berdoa,

“Saya mau hujan turun.”

Kembali terlelap. Padam.




Depok, 11 Maret 2010



Untuk Tuan Hujan Tersayang, Turunlah Datang.

24 June 2010

Hantu-Hantu Tahun Baru

Perempuan berkaus kaki merah membaringkan badannya,
Matanya menyipit menatap silau lampu saat ia tengadah.
Perempuan berkaus kaki merah menggeliat,
Anak-anak rambut menempel karena peluh di dahi,
Baju tersibak sedikit oleh geraknya.
Perempuan berkaus kaki merah menghirup lapar udara di sekelilingnya,
Mengendus di tengah ruangan itu ada aroma lelaki satu malam di atap.
Perempuan berkaus kaki merah merindukannya,
Perempuan berkaus kaki merah ingin menciumnya.






Depok, 26 Januari 2009
ah, puisi lama.

untuk pria satu malam di atap

8 December 2009

Lagi-Lagi Malam Lagi

Malam keruh larut, teraduk bersama ampas kopi.
Bukan tidak ada yang harus kau kerjakan, hanya kau enggan melakukannya.
Malas, kau menghitung berapa puntung rokok yang sudah kau hisap habis.
Mencoba mereka-reka kuantitas apa yang membuat kamarmu berlumur asap.
Asap, mereka menari, mengejawantah wajah-wajah patah,
Wajah-wajah yang pernah kau hirup setiap hela nafas mereka,
Wajah-wajah yang kau rengguk dalam keserakahanmu,
Wajah-wajah tanpa mata seperti lukisan Modigliani.
Karena ternyata halnya sama, kau tak pernah mengenal jiwa mereka.
Entah apakah kau atau mereka yang perlahan pergi,
Semua tidak ada yang jelas.
Pintu kamarmu kini tertutup.
Namun kau masih saja mencuri-curi mengintip dari lubang kunci.
Berharap semu mereka atau setidaknya salah satu dari mereka kembali dan mengetuk pintu.
Dan dengan jumawa kau bersiap akan membukanya.
Namun malam terlalu mabuk.
Mampus matamu terjepit di lubang kunci!
Sehingga tak ada lubang lagi di kamar agar asap rokokmu dapat keluar,
Matamu pun memerah, berair.
Sudah, sudahlah.
Ini bukan drama. Kau tidak butuh penghiburan apapun.
Ambil dan hisap kembali saja rokokmu,
Ramaikan kembali kamarmu dengan asap.
Tiup terompetmu, tuangkan anggur pada cawan,
Mabuklah bersama malam.
Menarilah bersama para asap dan tertawalah seolah kau tak pernah sebahagia ini.
Berdirilah di depan cermin,
Kau adalah badut, dimana penontonmu adalah cermin.
Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.
Kau tidak gila. Kau hanya perlu menertawakannya. Kau bahkan tidak akan pernah tahu,
Saat serdadu-serdadu pagi menjemput,
Yang mereka akan dapati di kamarmu hanyalah asap.
Dan kau sebagai salah satu wajah yang patah.





Depok, 8 Desember 2009.
Dini hari.
Saat garis mati tugas-tugas menanti.
Namun isi kepala tak kunjung kompromi.

15 May 2009

Flying So High, Red Balloon

As late as the night goes by,
As quiet as I am laying down on my bed,
Keep staring at the untouchable phone next to me.

Sleepiness is about to reach my head completely.


Maybe I am waiting.

But eyes keep opened,
And there are many things running just like the lights.

Try blurring the image which was so vivid to me.


Maybe i already knew.

Flashback starts to manipulate my tired minds,
The storyteller come back again,
And always be the same story, he says.
That's pretty tiring to hear the same one which is torturing.

Maybe i decided to.

Unfinished letter hang so heavy,
Everyone knows that there's nothing left to say.
But the paper can't just be burned and damned.
Somehow it forces me to keep reading over and over again.

Maybe it comes to the edge.

How pitiful they who trust others hardly.
How greedy they who want to posses everything.
Shouldn't I yell those into the mirror?

Maybe I need to let it go.

In order to save you,
Those acts were right:
Turned back and ran away.
There was no need sounds of your foot runs at my back.
Even if that was the last wish.

Maybe I will regret all this.

Full moon watched intensely from above.
The storyteller falls asleep.
Asking the reason is unnecessary.
Even the full moon knew it was the end.

Maybe I am the one who's fool.

Look into the mirror.
Waving my hand, spreading smile.
It looks ironic.


Maybe we'll meet again, when we're both cats.